sederhana itu berarti

banyak kegagalan terjadi
banyak kekurangan banyak mengeluh???
tidak...!!!
kurang itu mesti dipenuhi
tapi
lebih itu mesti berbagi....

Rabu, 11 Januari 2012

Inilah Dwi....

usia 7 bulan

Dwi lahir di tanah Sumatera, tepatnya di Muara Enim Talang Ubi Kampung Sumberjo pada tahun 1992. Kampong terpencil di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Mungkin, jika ditanya hampir banyak yang tidak tahu daerah itu. Namun itulah kenyataannya Dwi dilahirkan disana. Dwi merupakan anak kedua setelah Rio kakak pertamanya lahir pada tahun 1989.  Dwi berasal dari keluarga prihatin alias sangat sederhana dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan.
Sejak kecil Dwi mengalami banyak peristiwa, hingga ia mengerti untuk apa peristiwa itu bagi kehidupannya kelak. Kakek dan nenek dwi merupakan petani desa yang menggarap sawah orang lain, dan hasilnya akan dibagi dua oleh pemilik. tidak hanya itu, sang nenek pun rutin berjualan tempe sebelum pergi ke sawah. Sedangkan ayah Dwi merupakan seorang kontraktor d perusahan minyak, pahitnya adalah ayah Dwi adalah seorang buruh. Dan ibu dwi merupakan seorang ibu pekerja keras, tidak hanya ibu rumah tangga. Akan tetapi, pekerja rumah tangga bahkan sesekali berjualan demi membantu ayah Dwi. Terkadang ibu Dwi berjualan pecel, gorengan, bahkan es Coctail. Hampir setiap hari, itulah aktifitas yang dikerjakan ayah dan ibunya Dwi lakukan, sehingga Dwi terpaksa diasuh oleh neneknya, dan kerap kali ikut berjualan tempe keliling kampong bersama neneknya. Dwi yang masih lugu itu asik betul menjalani aktifitas orang-orang disekelilingnya. Saat itu dwi dan keluarganya masih numpang dirumah kakek dan neneknya, entah bagaimana membayangkan, nenek yang anaknya ada delapan orang, ditambah keluarga Dwi dengan ukuran rumah tidak lebih dari 40 x 40 m2. Dan disamping rumah nenek ada sepetak kandang sapi, yah…. Neneknya Dwi memang memiliki banyak sapi, kurang lebih 9 sapi turut menemani hari-hari mereka.
JJJ
Dari 8 anak nenek, 2 diantaranya sudah menikah….
Ibu Dwi merupakan anak pertama dari 8 bersaudara, ibu dwi biasa dipanggil ibu Tini. Dan yang kedua ibu Tina. Ketiga dan seterusnya adalah Sri, wondo, mini, agustin, gio, dan gino. Dari kesemuanya Dwi memanggil paklek dan bu lek. Intinya lek.
Karena anak kedua nenek belum juga dikaruniai anak, maka dari itu Dwi mulai diasuhnya…katanya sih buat mancing….ha ha ha..itu filosofi orang Jawa.
Hampir setiap hari Dwi bersama ibu Tina, makan dan tidurpun dirumah ibu Tina. Yah…ibu tina memang sudah memiliki rumah duluan dibanding ibu dan ayah Dwi. Tidak terasa satu tahun dwi bersama ibu Tina dan suaminya pak din. Mereka merupakan orang tua kedua bagi dwi.
JJJ
Saat itu Dwi berusia 3 tahun, aktifitas sebelum masuk bangku sekolah adalah pergi berjualan tempe bersama nenek, terkadang ikut berjualan dengan ibu Tina. Setelah itu pergi mengirimkan makan siang tuk kakek diladang (sawah) jarak sawahnya pun sangat jauh…harus melewati sungai dalam terlebih dahulu, kira-kira lebih dari 3km jarak sawah dari rumah. Banyak aktifitas yang Dwi dapat lakukan di sawah, seperi mencari keong sawah, mengusir burung yang memakan padi, bermain disungai-sungai kecil, mencari buah ciplukan atau duduk di gubuk bersama kakek sambil belajar berhitung. Semua aktifitas itulah yang Dwi lakukan.
Saat itu Dwi sudah tidak tinggal bersama kedua orang tuanya lagi, melainkan tinggal bersama ibu Tina dan pak Din. Seolah tak mau lepas dari pelukan orang tua barunya itu. Dwi sangat dimanja oleh ibu Tina, setiap pagi Dwi selalu disediakan Susu segar dan 2 telur ayam kampong setengah matang. Sungguh hal ini belangsung hampir setiap hari. Hingga di Usia yang ke-4 Dwi masih tinggal bersama ibu Tina. Namun diusianya yang ke-4 ayah dan ibu kandung Dwi membeli rumah dkampung itu, rumah sederhana berdindingkan papan, dengan kapasitas 2 kamar tidur, sepetak dapur, sepetak ruang tamu dan tanpa kamar mandi alias di  sungai dan tak lupa masih beralaskan tanah. Beda sekali dengan rumah ibu Tina, yang mana dinding sudah  bata, serta lantai semen dan kasur serta selimut yang tebal. Saat diajak hijrah Dwi enggan sekali, malah ia meronta-ronta menangis menolak ibu kandungnya itu, Dwi tahu betul saat itu ibunya meneteskan airmata. Namun Dwi mengacuhkannya. Hal yang paling Dwi tidak suka adalah lampu bolham berwarna kuning. Itu yang membuatnya tidak betah…sedangkan dirumah ibu Tina, semua lampu menggunakan lampu cahaya putih. Dengan berat hati akhirnya Ibu Tini merelakan anak perempuan satu-satunya itu untuk tetap tinggal bersama adiknya, yaitu ibu Tina. Tak lama dari kejadian itu, ayah Dwi pergi merantau ke Jawa, tak tahan mendengar sindiran kakek yang dibilang “tidak becus membahagiakan keluarga” akhirnya ayah Dwi meninggalkan ibu Tini untuk sementara waktu, demi terwujudnya kehidupan lebih baik. Ayah dwi nampaknya dapat kerjaan di Jawa, namun hanya sebulan atau bahkan 3 bulan sekali baru pulang ke kampong. Demi terus hidup, dikampung ibu tini tetap berjuang. Ia berjualan makanan untuk menyambung hidupnya dan kak Rio.
JJJ
Di usia Dwi yang ke-5 dwi mulai belajar membaca dan berhitung, pak Din lah orang yang amat berjasa dalam hidup Dwi, ia mengamati setiap pertumbuhannya Dwi. Pak Din benar-benar menyayangi Dwi, sepeti anak kandungnya sendiri. hingga suatu ketika, Pak Din harus bertaruh nyawa demi membelikan boneka untuk Dwi, mobil yang dibawanya hampir masuk jurang, entah hanya keajaiban Allah lah membuat semuanya tetap baik-baik saja. Dan Dwi sangat mencintai ayah angkatnya itu. Hari-hari dwi memang jarang sekali diisi bersama kakaknya Rio. Karna memang Rio lebih senang tinggal bersama kakek dan nenek, Rio pun turut mengurusi sapi-sapi nenek, seperti mencarikan rumput atau bahkan “ngangon sapi di hutan”. Dwi dan Rio memang sudah terpisah, tapi Dwi sayang sekali dengan kakaknya itu. Di usia yang cukup dini, Dwi sudah mampu berhitung 1-10 dan mengeja bacaan. Namun belum juga diterima disekolah Dasar. Akhirnya Dwi harus menunggu setahun lagI. sambil menunggu, ibu Tina akhirnya memasukan dwi kesekolah TPA, setiap sore Dwi wajib belajar mengaji dimasjid, dan guru ngaji favoritnya adalah ibu Eni. Dwi sangat antusias sekali ketika belajar mengaji, gadis mungil itu tak segan bertanya-tanya soal huruf hijaiyah dan dwi selalu membuat ibu Eni menggeleng-gelengkan kepala. Tidak hanya sampai disitu, dwi pun mencoba tantangan yang lebih besar, ia pun ingin bergabung dengan kelompok ngaji yang lebih dewasa, yaitu kelompok kak Rio. “dasar anak kecik, ngapoi kau nak gabung samo kami?” ujar kak Rio.
“ngapoi kau ngurusi aku?aku nak belajar ngaji ao..dak pulo papo aku disini samo kau samo kaka-kaka yang lainnyo” ujar Dwi.
Celotehan Dwi memang selalu bisa membuat orang tertawa. Sungguh kehidupan sederhana tidak terlalu mengusik Dwi dalam menjalani kehidupan.
JJJ
Akhirnya usia Dwi pun menginjak usia yang ke-6, alangkah bahagianya Dwi di angka 6, itu akhirnya Dwi masuk Sekolah Dasar. Yah…memang Dwi langsung ke sekolah Dasar, ia tidak melalui proses Tk terlebih dahulu. Karna persoalan biaya makanya Dwi langsung SD. Jarak SD dari rumahnya cukup jauh kira-kira kurang lebih 3 km dari rumahnya. Belum lagi lintasan yang dilaluinya, Dwi harus melewati kebun karet yang luas serta hamparan sawah, barulah sampai kesekolahnya, untunglah Dwi memiliki banyak teman yang berasal satu kampong dengan Dwi, apalgi ada lebih dari 6 orang yang sama-sama duduk dibangku kelas 1. Adapun teman-teman Dwi seperti Ardi, Entis, Diah, Asih, Sinta, Mita dan lainnya kakak kelas Dwi, termasuk kakaknya Rio pun satu sekolah dengannya, namun saat itu Rio telah duduk dibangku kelas 4.
Kini Dwi sudah memiliki aktifitas baru, yaitu sekolah. Namun, aktifitas dirumah tetap ia lakukan, seperti, pergi kesawah dan terkadang ikut Rio untuk angon sapi atau sekedar mencari rumput untuk sapi. Tidak lama dari ia jalani hari-hari disekolah, akhirnya ayah dan ibu kandung Dwi pulang dari Jawa, ada secelah kabar gembira untuk kehidupan mereka, ayah Dwi sudah mendapat pekerjaan tetap di Jawa. Akhirnya mereka turut membawa Rio ke Jawa, saat itu ibu belum berniat untuk membawaku, karna memang kehidupan di Jawa sangat sulit, oleh karena itu Dwi tetap tinggal bersama ibu Tina. Pahit memang, sejak kecil hingga masuk sekolah dasar Dwi jarang sekali merasakan kasih sayang langsung dari kedua orang tua kandungnya itu. Tapi Dwi yang polos itu belumlah mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sudah hampir setauhun ia tak mendengar kabar orang tua dan kakaknya itu. Bahkan, tak jarang ia menangis untuk sekedar memeluk ibunya itu, ia rindu dengan canda tawa bersama kakaknya Rio. Namun, ibu Tina hanya bisa menjawab “sebentar lagi ibu Tini pulang”. Tapi entah kapan ia pulang.
JJJ
Tak terasa, Dwi akhirnya duduk dikelas 2, semakin lihai saja jari jemarinya menulis. Saat Dwi duduk dibangku kelas 2, ibu Tina berniat untuk menyekolahkan Dwi dipondok pesantren di Sumatera, nampaknya Dwi menyambut gembira keinginan ibunya itu, dengan di iming-imingi setelah lulus dari pondok itu, Dwi bisa melanjutkan ke Kairo. Entah, gadis kecil berusia 7 tahun itu senag sekali, yah…memang saat di TPA, guru ngajinya sering menyinggung tentang Kairo, yang semua orang bilang, banyak saudara muslim kita yang melanjutkan sekolah disana. Oleh karena itu Dwi sangat bersemangat untuk bersekolah di pondok. Akhirnya, hal ini dibicarakan kepada orang tua kandung Dwi di Jawa, walau bagaimanapun mereka adalah orang tua kandung Dwi yang mana lebih berhak mengarahkan dimana Dwi akan berpijak. Namun, setelah mendengar maksud ibu Tina, nampaknya kedua orang tua Dwi kurang setuju dengan keinginan itu, ibu Tini merasa, bahwa anaknya itu masih terlalu dini untuk tinggal di pondok dan hidup mandiri di pondok, ibu Tini khawatir anaknya itu tidak akan betah di Pondok. Alhasil, Dwi pun tidak jadi masuk ponpes, dan sebagai gantinya ibu Tini bermaksud untuk memboyong Dwi untuk pindah ke Jawa dan Sekolah agama disana, jadi Dwi tidak perlu mandiri tinggal di Ponpes. Tapi, Dwi mungil itu menolak untuk diajak pindah, hingga pada liburan catur wulan, ibu Tini ingin mengajak Dwi liburan di Jawa, katanya sih…mau lihat laut dan pantai, maklum disumatra Dwi tidak pernah sekali pun melihat laut ataupun pantai kecuali melalui TV hitam putih milik ibu Tina. Akhirnya Dwi senang sekali diajak ke Jawa. Tanpa sepengetahuan Dwi, ternyata ibu Tini telah  menyusun rencana untuk memindahkan Dwi ke Jawa, dan semua surat-surat pindah telah diurus. Sungguh, Dwi malang itu tak tahu rencana orang tua kandungnya itu. Tak lama ia bersekolah Dwi pun merasa rindu dengan kehidupan di kampong, rindu dengan hamparan sawah dan aktifitas lainnya. Dwi pun meminta pulang ke kampong, akhirnya Dwi pulang kampong dan ia pun meneruskan sekolahnya kembali kesekolah lamanya. Sampai Dwi duduk dikelas 3.
JJJ
Sebentar lagi Dwi akan berulang tahun yang ke-8, tapi memang sejak kecil Dwi tidak pernah dibiasakan oleh keluarganya untuk merayakan ulang tahun, kata ibu Tina, ulang tahun itu merupakan budaya Barat. Diusia yang ke-8 ibu, ayah, dan Rio pulang kampong. Wah Dwi senang sekali. Tapi, diulang tahunnya kini agak berbeda, ternyata kedatangan mereka hanya untuk menjemput Dwi ke Jawa. Dan ibu Tina pun sudah menyiapkan prosesi perpisahan, hanya selametan kecil-kecilan dirumah, sekalian merayakan ultah yanh ke-8. Dwi melihat ibu Tina dan Pak Din meneteskan air mata sepanjang acara itu. Dwi pun merasa tak tahu arah, ia pun menangis histeris…..
Dan akhirnya, Dwi pindah ke Jawa untuk selama-lamanya dan hanya satu tahun sekali atau bahkan entah kapan ia kembali ke kampong. Yang pasti Dwi sudah ikhlas menjalani kehidupan yang sangat berbeda 360° dengan dikampung. Dan waktu terus berjalan hingga sampai saat ini.
©©©
Itulah secuil cerita tentang asal-usul Dwi. Dwi hanya gadis sederhana yang datangnya dari kampong, mengawali kehidupan serba pahit hingga benar-benar bisa bernafas, ia dan keluarganya benar-benar menelusuri secara detail perjuangan hidup. Dan masih banyak lagi kepahitan hidup di Jawa..

Simak cerita selanjutnya yah……….!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar